Sabtu, 26 Januari 2013

KIA








Kajian ini memusatkan perhatian kepada kemajemukan sistem Kesehatan Ibu dan Anak 
(KIA) di Rancaekek, sebuah daerah yang termasuk ke dalam wilayah kebudayaan Sunda, di 
Jawa Barat, Indonesia. Tujuan kajian ini adalah meneliti hubungan antara kemajemukan 
sistem KIA dan bagaimana komunitas memanfaatkan beragam sumber layanan kesehatan 
(modern dan tradisional) bagi  ibu dan anak di dalam komunitasnya. Perilaku ibu hamil dan 
ibu melahirkan diulas berdasarkan kontak mereka dengan keragaman layanan KIA yang ada. 
Di wilayah pedesaan Indonesia, dukun bayi adalah bagian dari keragaman sumber layanan 
kesehatan bagi ibu melahirkan dan bayi baru lahir. Mereka dianggap penting semenjak masa 
kehamilan hingga pascakelahiran, bukan hanya terkait dengan kebutuhan fisik perempuan, 
tetapi juga kebutuhan mental dan spiritual ibu sebagai anggota komunitas yang sehat. Di 
Rancaekek, keragaman sumber layanan kesehatan bagi ibu hamil dan melahirkan merupakan 
hal yang lumrah. Di dalam kebudayaan orang Sunda di Rancaekek, dukun bayi biasa disebut 
paraji.





Rancaekek merupakan salah satu wilayah kantong industri terpenting di Jawa Barat. 
Meski demikian, sebagian besar penduduk aslinya masih tinggal di wilayah pedesaan dan 
bergantung kepada pertanian dalam sumber penghidupannya. Sebagian penduduk malah 
tinggal di wilayah yang terhitung jauh dari layanan kesehatan modern: Pusat Kesehatan 
Masyarakat (Puskesmas). Oleh karena itu peran paraji mempunyai arti penting, terutama bagi 
rumahtangga-rumahtangga berpendapatan rendah. 
Agar tujuan utama penelitian ini tercapai, dengan memperhatikan ketiga aspek kajian: 
kesehatan masyarakat, sistem pelayanan KIA, dan penggunaan sistem KIA modern dan 
tradisional—tujuan-tujuan khusus dalam kajian ini didokumentasikan sebagai berikut:
Pertama, memberikan deskripsi tentang Indonesia yang merupakan suatu negara berkembang 
di Asia Tenggara, khususnya wilayah Sunda di Jawa Barat, dimana penelitian ini dilakukan; 
Kedua, menjelaskan tentang kesehatan dan pengobatan di Indonesia, meliputi sistem medis 
tradisional dan modern, dengan perhatian utama pada Kesehatan ibu dan anak. Khususnya. 
perubahan peran dari penolong persalinan tradisional (paraji) dan penolong persalinan 
modern (bidan) yang dijelaskan dalam konteks kebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia;
Ketiga, menjelaskan mengenai komunitas lokal Rancaekek dimana penelitian kualitatif dan 
kuantitatif dilakukan. Dalam hal ini, selain menjelaskan struktur komunitas Rancaekek, juga 
menjelaskan mengenai populasi dan sampel survai, sedangkan gambaran mengenai sistem 
pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) yang berkaitan dengan penggunaan tanaman obat,
kosmetik dan aromatik (TOKA);
Keempat, mendeskripsikan pelayanan KIA majemuk dalan area penelitian dan  proses 
kehamilan dan melahirkan, demikian pula proses perilaku penggunaan pelayanan KIA pada 
perempuan hamil dan ketika memastikan status kehamilan seorang ibu oleh paraji atau bidan
yang tersedia dalam komunitas tersebut;
Kelima, menyajikan pola-pola penggunaan sistem KIA bagi ibu hamil dalam sampel survai di 
Rancaekek, menerapkan analisis bivariat, multivariat dan analisis multi-regresi, diikuti 
dengan interpretasi dan hasil analisis.275
Keenam,  memformulasikan rekomendasi yang didasari oleh temuan penelitian untuk 
meningkatkan dan mendukung interaksi dan kerjasama antara  paraji dan  bidan dalam 
kaitannya dengan tujuan bersama dalam meningkatkan pelayanan KIA dalam komunitas yang 
bersangkutan, dalam rangka mendorong kemitraan yang berkelanjutan antara keduanya 
adalah perwakilan sistem medis tradisional dan modern di daerah penelitian.
Bab I mendiskusikan layanan KIA sebagai salah satu sektor terpenting pelayanan kesehatan di 
seluruh dunia. KIA merupakan salah satu bagian dari sistem Kesehatan Masyarakat 
Primer/Primary Health Care (PHC) yang dicanangkan dalam Konferensi Alma-Ata 1978. 
WHO mendefinisikan layanan KIA sebagai sektor inti Kesehatan Masyarakat yang 
seharusnya dapat diakses dan diterima oleh semua individu dan keluarga melalui kesertaan 
penuh dan bisa dijangkau biayanya baik oleh komunitas maupun negara.  Layanan KIA 
semestinya menjadi bagian dari satu kesatuan integral sistem kesehatan suatu negara dan 
merupakan inti pembangunan sosio-ekonomi secara menyeluruh dalam suatu komunitas. 
Kebijakan kesehatan ―Kesehatan untuk Semua pada Tahun 2000‖ yang diformulasikan 
Konferensi Alma-Ata merupakan upaya memastikan bahwa kesehatan primer menjadi bagian 
integral suatu komunitas dan pembangunan negara dan bukan sekadar proses yang terisolasi 
di pinggiran. Pelaksanaan, promosi, koordinasi, dan dukungan secara administrasi sangat 
diperlukan, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga di tingkat menengah dan pemerintahan 
pusat. Kesehatan primer harus dapat menggunakan berbagai sumberdaya yang tersedia secara 
penuh; harus dapat memobilisasikan seluruh potensi manusia di berbagai komunitas. 
Sayangnya, setelah 20 tahun, WHO-SEAR (2009) melaporkan pembaruan definisi 
―Kesehatan untuk Semua‖, yang di dalamnya menyatakan bahwa setiap individu harus 
mencoba memelihara kesehatannya dengan mempraktekkan pelayanan bagi diri sendiri, dan 
pada saat bersamaan, juga memiliki akses pelayanan kesehatan yang memadai, namun, hal itu 
hanya  merupakan  sebagian gambaran saja  dari gambaran  seharusnya. Sistem kesehatan 
termasuk di dalamnya organisasi, lembaga dan sumber daya dalam kesehatan masyarakat. 
Keputusan Alma-Ata menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dan kemandirian yang 
diorganisasikan secara penuh, dengan individu, keluarga, dan komuniti untuk bertanggungjawab pada kesehatannya masing-masing.
Indonesia mengajukan program ―Pengembangan dan Pengobatan Tradisional untuk 
Penanganan Diri Sendiri‖ berdasarkan kepada berkembangnya perhatian Negara kepada 
pengobatan tradisional  dalam kaitannya dengan penanganan diri sendiri. Pernyataan ini 
mendukung kajian ini berkenaan dengan persoalan daripada memarjinalisasikan  paraji
dengan memandangnya sebagai penyebab tingginya AKI dan AKB di Indonesia, lebih tepat 
ialah pengintegrasian kedua sistem KIA, yakni paraji/dukun bayi (atau TBA) yang mewakili 
KIA  tradisional dan bidan sebagai wakil sistem KIA modern pada tingkat nasional. Integrasi 
dua sistem kesehatan yang diajukan dalam kajian ini didasari pengetahuan lokal yang 
diwariskan dari generasi ke generasi dan yang akan lenyap seiring disingkirkannya peran 
paraji.
Kini, Pemerintah Indonesia telah  meratifikasi kesepakatan menerapkan, menjalankan, 
dan meninjau Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) yang harus bisa dicapai pada tahun 
2015. Bank Pembangunan Asia (2005) menyatakan bahwa MDG telah menyatukan berbagai 
program internasional untuk pembangunan di sekitar agenda tujuan global bersama melalui 
pengurangan angka kemiskinan di seluruh dunia. Hal tersebut ditujukan kepada visinya 
tentang wilayah Asia Pasifik yang bebas kemiskinan. MDG juga menjuruskan tujuan-tujuan 
dan capaian-capaian khusus, menyediakan seperangkat indikator pengukuran dan pengawasan 
kemajuan ke arah  penurunan tingkat kemiskinan. MDG mencerminkan sebuah kemitraan 276
global yang berkembang dari komitmen dan capaian-capaian yang ditetapkan pada pertemuan 
dunia pada 1990-an. Menanggapi tantangan-tantangan perkembangan utama dunia dan untuk 
menggugah masyarakat sipil, MDG pada satu sisi mendorong peningkatan pendidikan dan 
kesetaraan jender, dan pada sisi lain berkeras untuk mengurangi kemiskinan, kematian ibu, 
mortalitas anak, HIV/AIDS dan penyakit lainnya. Dirancang untuk tercapai pada tahun 2015, 
MDG merupakan seperangkat kesepakatan tujuan-tujuan yang bisa dicapai apabila semua 
peserta bekerja bersama dan mengerjakan bagiannya secara sungguh-sungguh.
Bab II, penelitian-penelitian penting dalam penggunaan pelayanan kesehatan di seluruh
dunia didiskusikan, agar tergambarkan, mengapa begitu banyak peneliti tertarik pada isyu 
tersebut.  Walaupun kehamilan tidak dinyatakan secara formal sebagai penyakit, namun 
ketergantungan seorang perempuan yang sedang hamil ketika melahirkan menyerupai pasien 
yang memerlukan penanganan medis. Oleh sebab itu, diskusi dalam studi ini mencoba 
mencari kontribusi pada pengetahuan dan pemahaman mengenai hubungan antara proses 
kehamilan dan melahirkan dengan penggunaan pelayanan kesehatan yang ada di komunitas 
pedesaan. Sehingga model medis majemuk mencakup sistem medis tradisional, transisional 
dan modern, dalam hal ini digunakan untuk menjelaskan kondisi KIA di Rancaekek. Sistem 
KIA tradisional dan modern yang diwakili  oleh  paraji dan  bidan, sedangkan sistem medis 
transisional tidak terwakili dalam sistem KIA.
Secara historis, Indonesia mengalami proses akulturasi tiada henti. Penduduknya 
berhadapan dengan jenis-jenis sistem medis asing ketika masuknya pendatang dari  India, 
Timur Tengah, dan Tiongkok. Kemudian sistem medis modern dari Barat diperkenalkan pada 
akhir abad ke-19, ketika dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Sekarang, layanan kesehatan 
di Indonesia dicirikan oleh perkembangan serta saling tumpang-tindihnya antara teori dan 
praktik dari beragam sistem medis, yakni tradisional, transisional, dan modern. Beberapa 
kerumitan metodologis secara mendasar terkait dengan pemahaman ilmuwan Barat terhadap 
sistem pengetahuan lokal, khususnya bahwa nilai sistem kepercayaan merupakan bagian dari 
kompleksitas dari ‗pengetahuan-praktik-kepercayaan‘ lokal, terkait dengan sistem asli 
masyarakatnya sendiri. Sistem-sistem medis secara mendasar memang rumpil dan didalamnya 
mencakup pendekatan lokal tradisional dari kehidupan sosial budaya negara-negara 
berkembang jauh sebelum diperkenalkannnya sistem medis modern.
Di dalam penelitian ini, konsep ‗tradisional‘, ‗lokal‘, dan ‗modern‘ digunakan untuk 
menggambarkan perbedaan antarsistem KIA majemuk di dalam suatu komuniti. Masyarakat 
lokal, komuniti atau bangsa, berbagi pengalaman historis yang  berkesinambungan dengan 
masyarakat pra-penaklukan dan pra-penjajahan yang berkembang dalam wilayahnya, dan 
mereka menganggap diri mereka berbeda dari masyarakat lain yang sekarang ada di wilayah 
tersebut atau bagiannya. Sekarang ini, etnisitas mewakili berbagai sektor yang tidak dominan 
dari masyarakat dengan tetap mempertahankan,mengembangkan dan melanjutkan pada 
generasi berikutnya wilayah leluhurnya dan identitas etnisnya sebagai landasan haknya 
sebagai masyarakat lokal, sesuai dengan pola-pola budaya, pranata sosial, dan sistem legal 
mereka sendiri. Pengetahuan ‗tradisional‘ tidak berarti bahwa pengetahuan tersebut kuno, 
tetapi lebih  merujuk pada cara mendapatkan dan menggunakan pengetahuan  tersebut. 
Dengan kata lain, proses sosial pembelajaran dan berbagi pengetahuan yang unik bagi 
kebudayaan-kebudayaan lokal, terdapat pada inti ‗ketradisionalannya‘. Banyak dari 
pengetahuan semacam itu yang sebenarnya terbilang baru, tetapi memiliki konotasi sosial dan 
sifat legalnya secara keseluruhan tidak sama dengan sistem pengetahuan lainnya. Sistem 
penghidupan tradisional secara terus-menerus mengadaptasikan diri terhadap perubahan sosial 
ekonomi dan lingkungan. Mereka dinamis, tetapi—tak peduli bentuk-bentuk perubahannya—
mencakup prinsip-prinsip  berkelanjutan. Namun, sistem  bio-medis modern Barat 277
diperkenalkan oleh pemerintah nasional kepada komunitas lokal. Dengan demikian, 
konfigurasi kemajemukan medis mencabut akar di dalam komunitas dan mencirikan sistem 
tersebut bisa dibatasi sebagai berikut:
a. Sistem tradisional mencakup pandangan, praktik, dan kepercayaan lokal yang 
berkembang dari generasi ke generasi di dalam suatu kebudayaan atau wilayah;
b. Sistem transisional mencakup penjaja obat-obatan yang mewakili bagian akhir di dalam 
rantai penjualan industri farmasi modern, yang menemukan pasar menguntungkan di 
dalam masyarakat di negara-negara berkembang;
c. Sistem medis modern ditata oleh sistem biomedis modern yang bertentangan dengan 
paradigma etnomedis.
Dalam kaitannya dengan sistem KIA, layanan KIA tradisional mewujud ke dalam  paraji
(dalam Bahasa Sunda) atau dukun bayi (dalam Bahasa Indonesia) atau TBA, sementara KIA 
modern diwakili oleh  bidan desa.  Walaupun demikian, kebudayaan tradisional tidaklah 
terkungkung, tidak pula kebal terhadap pengaruh kebudayaan lain dan berkembang melalui 
kontak budaya antarnegara di dunia global. Kebudayaan tradisional mestilah dipahami
sebagai fenomena berkelanjutan dengan seperangkat gagasan, organisasi, dan kumpulan yang 
berbeda. Secara umum, penyembuh tradisional menempati kedudukan yang dihormati dalam 
komunitasnya karena keahlian mereka dalam menggunakan pengobatan tradisional. Pada 
banyak komunitas, penyembuh tradisional digolong-golongkan ke dalam beragam spesialisasi 
seperti ahli patah tulang, pembantu persalinan, tukang sunat, penyembuh supranatural, dan 
sebagainya. Kedudukan dan peran penyembuh tradisional berpengaruh kuat di dalam 
komunitasnya karena dianggap memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan berkenaan dengan 
kesehatan dan praktik penyembuhan lintas generasi dari pengalamannya sendiri. Banyak 
orang percaya bahwa penyembuh tradisional adalah perantara dunia manusia dan dunia halus, 
melalui kemampuan mereka dalam menyembuhkan anggota komunitas yang sakit.  Akhirakhir ini, peran penyembuh tradisional, khususnya terkait dengan paraji, juga dilihat sebagai 
perantara antara komunitas dan sistem kepercayaan tradisional sekaligus dengan sistem KIA 
modern.
Indonesia termasuk negara yang menghargai pentingnya  etnomedisin dan 
memperbolehkan hal tersebut menjadi bagian integral dari pelayanan KIA modern. Meskipun 
demikian, tidak semua aspek dari sistem medis majemuk sepenuhnya terintegrasi dan masih 
ada sinergi yang kurang sesuai dalam interaksi dalam kesehariannya.  Seperti yang sudah 
disebutkan terdahulu, layanan kesehatan primer memerlukan reformasi dalam rangka 
menyesuaikan dengan tingkat kesehatan publik bagi semua.  Paraji berperan lebih sedikit 
dalam menolong persalinan, karena bila dibandingkan dengan bidan desa, ia tidak memiliki 
pendidikan formal. Pada beberapa bagian dari propinsi jawa Barat ,paraji masih membantu 
dalam kehamilan dan pasca-persalinan, akan tetapi tidak dalam persalinan.  Hanya bidan yang
dianggap ahli diperkenankan membantu perempuan dalam persalinan karena kemungkinan 
dapat terjadi resiko. Keluarga harus mempelajari bagaimana membuat keputusan yang relevan 
dengan kesehatannya sendiri.  Proses kelahiran dan rencana penanganannya, misalnya, 
didasarkan kepada pilihan yang diambil bersama-sama baik oleh ibu hamil dan staf kesehatan 
dalam mempertimbangkan kelahiran dengan baik. Persoalan yang terkait mencakup di mana 
proses melahirkan akan dilakukan dan siapa yang akan menangani pekerjaan rumahtangganya
dan  memelihara  anak-anaknya ketika seorang ibu melahirkan. Diskusi sekitar masalah ini 
juga mencakup rancangan  pembayaran biaya bantuan medis, pengaturan transportasi, dan 
juga mengidentifikasi pendonor darah yang cocok apabila ada kasus pendarahan. Biasanya, 278
gejala-gejala yang menandai suatu kehamilan mencakup rasa mual-mual, muntah, sakit 
kepala, dan sebagainya yang dirasakan perempuan. Pengambilan keputusan untuk 
menggunakan layanan KIA bergantung kepada bagaimana perempuan dan keluarganya 
menafsirkan pengalaman gejala-gejala fisik kehamilannya. Bagi mereka yang pertama kali 
mengalami, perhatian terhadap gejala-gejala ini lebih tinggi dibandingkan bagi mereka yang 
sebelumnya pernah mengalami kehamilan. Salah satu bentuk perhatian itu ialah upaya 
pencarian keterangan dari orang-orang terdekat: keluarga dan  teman-teman yang dianggap 
memiliki pengalaman lebih. Dari antara keterangan-keterangan itulah pengambilan keputusan 
untuk memilih layanan kesehatan  kemudian  diambil. Jadi, dapat dikatakan bahwa 
pengambilan layanan perawatan kesehatan akan melibatkan proses pengambilan keputusan 
yang rumpil (complex). Setiap individu akan memadukan berbagai keterangan dari jaringan 
sosialnya. Tidak ada kondisi sosial budaya dan ekonomi yang betul-betul sama untuk setiap 
perempuan, sehingga setiap rumahtangga atau perempuan akan memiliki alasan dan 
pembenaran  yang  berbeda dalam pengambilan keputusan  dalam  pemanfaatan beragam 
layanan kesehatan terkait, termasuk dalam hal kehamilan. Sebagian perempuan memiliki 
saluran sosial dan ekonomi memadai untuk memanfaatkan layanan KIA modern, dan 
sebagian lainnya tidak memiliki sumberdaya cukup selain mengambil layanan tradisional 
meski mendapatkan jaminan sosial.
Meskipun kehamilan tidak dianggap sebagai sakit, namun, perempuan hamil mengalami 
perubahan-perubahan fisik dan kondisi biologis. Sementara sebagian perempuan mengalami 
gejala-gejala yang kurang baik, sedangkan sebagian lainnya hanya biasa-biasa saja. Mereka 
yang merasa kurang sehat, akan berkonsultasi kepada teman atau anggota keluarga  yang 
dianggap memahami gejala kehamilan dan mendapatkan saran supaya keadaannya menjadi 
lebih baik. Biasanya perempuan yang sedang hamil, tahu kepada siapa dirinya akan meminta 
pertolongan. Meski demikian, keputusan tetap saja bergantung kepada kondisi sosial-ekonomi 
rumahtangganya. Pemilihan layanan KIA tidak hanya diambil oleh seorang perempuan yang 
sedang hamil, tetapi juga suami, orangtua, mertua, dan anggota keluarga lain yang dianggap 
sudah berpengalaman. Selain itu, kebiasaan setempat, kepercayaan, dan keadaan keuangan 
rumahtangga juga turut  mempengaruhi. Meskipun perempuan yang sedang hamil dan 
keluarganya menyadari bahwa menggunakan pelayanan  bidan lebih baik, namun, keadaan 
keuangan dapat memaksa mereka memilih pelayanan paraji. Selain dianggap lebih murah dan 
selalu siap sedia setiap saat; layanan KIA tradisional secara budaya lebih mudah diterima 
dibandingkan pelayanan KIA modern. Dalam konteks inilah, penggunaan istilah ―tradisional‖, 
―modern‖; atau ―asli‖ dan ―barat‖ dalam memahami keragaman layanan kesehatan tidak dapat
dihindari. Setiap sistem kesehatan memiliki pendukung dan pengguna masing-masing. 
Pemanfaatan layanan kesehatan tradisional atau lokal dalam masyarakat majemuk seperti
Indonesia, masih berlangsung seperti penggunaan tumbuhan obat, pengobatan sendiri di
rumah, atau paket obat dari industri jamu. Pada 1983, WHO mulai menggalakkan 
pemanfaatan kesehatan tradisional, termasuk praktik-praktik pengobatan lokal dan berbagai 
jenis pelayan kesehatan yang mencakup pertolongan persalinan tradisional untuk 
meningkatkan produktivitas hidup secara sosial dan ekonomi bagi
semua.
Secara kesejarahan, Indonesia merupakan negeri kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau 
yang dihuni oleh beragam sukubangsa, kehidupan sosial dan budaya masing-masing. Tiaptiap sukubangsa memiliki sistem kesehatannya sendiri, termasuk  cara perawatan untuk 
perempuan hamil dan pasca melahirkan. Sepanjang sejarah, beragam tradisi dari Asia Selatan, 
Tiongkok, Portugis, dan Inggris mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya di Indonesia,
mereka membawa serta berbagai aspek kebudayaannya sendiri,  termasuk sistem perawatan 279
kesehatannya. Indonesia yang kemudian menjadi negara setelah selama 350 tahun menjadi
wilayah jajahan yang dikenal sebagai Hindia Belanda, secara formal meng-adopsi sistem 
kesehatan Eropa modern warisan pemerintah Hindia Belanda. Meski demikian sistem-sistem 
pengobatan dan perawatan tradisional masih berlaku hingga sekarang. Perilaku pencarian 
pertolongan kesehatan, hingga kini masih relevan bagi semua sistem medis. Ketika individu 
memilih pelayanan yang terkait dengan kesehatan mereka; mereka akan mempertimbangkan 
berbagai potensi resiko atau untung-rugi dari tindakannya tersebut. Pertimbangan ini 
dipengaruhi oleh lingkungan, latar belakang sosial budaya dan pandangan hidup mereka. Jika 
memahami dengan baik mengenai sakit dan penyakit, perilaku mencari pelayanan dapat 
mengurangi kelambatan diagnosis, meningkatkan pelaksanaan penanganan dan meningkatkan 
strategi kesehatan dalam berbagai konteks.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku penggunaan pelayanan ibu dan anak adalah 
sebuah proses yang berkaitan dengan saluran medis tertentu dan hal tersebut dipengaruhi oleh 
oleh beragam variabel sosial ekonomi seperti jenis kelamin, usia, kedudukan sosial khususnya 
perempuan, akses pelayanan KIA, dan penilaiannya pada kualitas pelayanan tersebut. Ketika 
menggambarkan faktor-faktor yang dipengaruhu oleh pola-pola tertentu, perlu diperhatikan 
dengan seksama hambatan-hambatan apa yang harus diatasi oleh perempuan-perempuan 
hamil dan melahirkan untuk mencapai pelayanan KIA di komunitasnya. Sebuah model 
konseptual harus dapat menerangkan hubungan antar dan pengaruh antara berbagai faktor 
terhadp perilaku penggunaan KIA pada tingkat rumah tangga, dalam kaitannya dengan 
pelayanan kehamilan sampai pasca melahirkan.  Penggunaan pendekatan ini membutuhkan
banyak penggolongan dan peristilahan, tetapi semuanya menjurus ke pemahaman:
psikososial, persepsi, kepercayaan, geografis, kedudukan sosial ekonomi, dan kelembagaan. 
Faktor-faktor ini tidak selalu memiliki relevansi terhadap perilaku perempuan hamil  dalam 
mencari bantuan kesehatan selama dan setelah kehamilan.
Selama hamil, melahirkan dan pasca-melahirkan, fokus diberikan kepada perempuan. 
Beberapa kemampuan dalam kehidupannya akan mempengaruhi kebutuhannya untuk
mendapatkan perawatan: seperti, pendapatan, status sosial, jaringan sosial, kemandirian dan 
pertanggungjawaban.  Hal ini menjelaskan betapa rumpilnya proses pengambilan keputusan 
yang dihadapi oleh perempuan yang didasari relasi gender, dalam kesehariannya. Terlebih 
lagi, faktor-faktor semacam itu dapat mengarah pada keterlambatan dalam memutuskan kapan 
harus mencari bantuan perawatan, khususnya bila kehamilan mengalami komplikasi,
menunda mencapai fasilitas kesehatan yang memadai, dan menunda mendapatkan perawatan 
di fasilitas kesehatan.  Keterlambatan pertama, menunjukan kelambatan dalam 
mengidentifikasi tanda-tanda bahaya suatu kehamilan yang berresiko. Hal ini berkaitan 
dengan ketakberdayaan perempuan untuk memutuskan sendiri atau bersama anggota keluarga 
lainnya: misalnya, suami, ayah atau ibu, ayah dan ibu mertua yang mungkin tidak menyadari 
akan resiko kehamilan atau kurang memperhatikan selama proses melahirkan. Keterlambatan 
kedua, banyak berkaitan dengan isyu pendanaan dan  kondisi  geografis. Ketika keluarga 
menyadari bahwa pertolongan dibutuhkan, dan kemudian memutuskan mencari perawatan 
pada fasilitas kesehatan yang memadai, mereka membutuhkan uang untuk kendaraan dimana 
jalan dan transportasi umum sangat dibutuhkan. Walaupun demikian, sulitnya akses,
khususnya di area yang berbukit dan pegunungan, membawa seorang perempuan yang hendak 
melahirkan berarti membawanya dengan berjalan kaki untuk beberapa jam agar dapat
mencapai fasilitas kesehatan terdekat. Lebih banyak orang dan  dukungan dana sangat 
dibutuhkan, selain sarana transportasi.  Keterlambatan ketiga, dapat terjadi di fasilitas 
kesehatan itu sendiri. Ketika perempuan dalam proses melahirkan mencapai fasilitas 
kesehatan, ia mungkin tidak datang di saat yang tepat, kualitas  pelayanan mungkin tidak 280
memadai, atau fasilitas kesehatan mungkin saja kurang memiliki sarana yang dibutuhkan 
seperti pelaksana, obat-obatan, peralatan dan ketersiaan darah. Oleh sebab itu, untuk 
persalinan yang aman, upaya harus dibuat dan dilakukan di tingkat komunitas.
Implementasi sistem KIA modern, yang di dukung oleh Kementerian Kesehatan Nasional
sesungguhnya menghadapi suatu proses perubahan sosio-budaya dari sistem tradisional di 
area tersebut.  Kontak kebudayaan dengan sistem medis yang memiliki berkuasa 
mempengaruhi  pandangan mengenai sistem kesehatan tradisional dalam suatu komunitas. 
Dalam kasus pelayanan KIA tradisional, ketika  paraji adalah satu-satunya sistem yang 
bertanggungjawab untuk menolong kehamilan dan  kelahiran dalam komunitas masyarakat 
yang sulit di jangkau, maka  pernannya berubah menjadi mediator antara sistem KIA 
tradisional dan modern.  Paraji harus mempelajari aspek-aspek tertentu dari pelayanan 
kesehatan modern misalnya pengetahuan tentang kehamilan yang berresiko tinggi, higienis, 
pelayanan pengobatan, teknik dan sarananya.
Dalam sistem KIA, pengetahuan mengenai kesehatan ibu termasuk bagaimana kehamilan 
dan melahirkan menjadi lebih aman begitu juga metoda-metoda tertentu yang digunakan 
dalam perawatan KIA. Komunikasi juga dapat membantu memperkenalkan nilai-nilai baru, 
misalnya, cara berkomunikasi dapat membantu memberdayakan perempuan untuk 
memutuskan pelayanan mana yang akan digunakan dalam merawat kehamilan dan persalinan, 
dalam kondisi tertentu. Komunikasi dapat mengajarkan bagaimana seseorang berperilaku, 
contohnya, bagaimana keluarga dan tetangga dapat membantu perempuan hamil. Persepsi 
seseorang terhadap apa yang dilakukan orang lain dapat mempengaruhi proses pengambilan 
keputusan dalam kehamilan dan persalinan. Sistem informasi yang terintegrasi dapat 
menghasilkan rekaman yang terkonsolidasi; pertukaran informasi kesehatan memiliki banyak 
keuntungan. Informasi yang dibutuhkan tersedia bagi penerima dalam ‗waktu yang tepat‘, 
seperti, di saat layanan dibutuhkan. Fungsi sistem informasi KIA adalah menyertakan  
berbagai pihak, seperti: komunitas,  paraji, kader kesehatan,  bidan, dokter, Posyandu dan 
Puskesmas. 
Bab III mendiskusikan penelitian dalam studi ini sebagai kelanjutan penelitian terapan 
yang telah dilakukan oleh WHO Collaborating Centre – Perinatal Maternal and Child Care
(WHOCC–PMC), Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan WHO  South-East Asia
Regional Office (WHO–SEARO) dalam program  Making Pregnancy Safer yang dilakukan 
pada 2001–2003. Penelitian ini, meliputi dua pendekatan metodologi penelitian yang saling 
melengkapi: kualitatif dan kuantitatif. Teknik yang digunakan adalah observasi partisipasi 
dengan cara tinggal beberapa lama di komunitas yang di teliti, dimana pada saat yang sama 
melakukan wawancara dan menyelenggarakan diskusi dengan informan-informan kunci dan 
beberapa perwakilan dari komunitas seperti paraji, bidan dan dokter di Puskesmas bersama 
dengan semua seksi yang terlibat dalam perawatan KIA. Setelah itu, studi dilanjutkan dengan 
mempertimbangkan sistem integrasi medis tradisional dan modern, dengan menggunakan 
kemitraan lebih lanjut antara  paraji dan  bidan desa di Rancaekek.  Informasi lebih jauh 
dibutuhkan dalam menyusun cara agar mereka dapat bekerjasama dalam layanan KIA yang 
terintegrasi.
Usaha untuk mengintegrasikan layanan KIA tradisional dan modern di Indonesia di mulai 
sebelum kemerdekaan, dan secara kronologis dalam  program-program KIA dari waktu ke 
waktu. Norma-norma pengetahuan dan pelaksanaan tradisional adalah kontras dengan etos 
ilmu modern, membuat integrasi antara kedua sistem dalam tahapan yang berbeda tersebut 
masih merupakan suatu  permasalahan. Cukup jelas bahwa, dalam tingkat epistemologi,
memilih integrasi masih menghadapi hambatan yang sangat besar dengan keanekaragaman 
kognisi antara sistem medis yang berbeda, meskipun usaha yang dilakukan saat ini  dalam 281
menyesuaikan dan mengubah sistem pengetahuan berdasarkan pengetahuan lokal dan global. 
Awal 1937 (dalam administrasi kolonial Belanda), memberikan pelatihan kepada dukun bayi 
di mulai di Purwokerto (Jawa Tengah).  Selanjutnya, perencanaan pelayanan kesehatan 
mengirimkan terus menerus bidan yang sudah terlatih ke pedesaan untuk menyelenggarakan 
layanan KIA. Sementara itu, untuk membantu masyarakat dalam periode tersebut, pelayanan 
kesehatan menggunakan pusat-pusat pelayanan dan bidan yang bertugas untuk melatih dukun 
bayi tentang perawatan yang higienis. Pada tahun 1950, sebuah lembaga untuk mensuplai 
makanan bagi masyarakat (Lembaga Makanan Rakyat) di bentuk untuk mendorong 
masyarakat mengkonsumsi makanan sehat dengan slogan: ‗Empat Sehat, Lima Sempurna‘. 
Slogan tersebut berarti bahwa diet sehat harus terdiri dari empat elemen: karbohidrat, protein,
lemak dan vitamin, ditambah dengan susu sebagai masukan kalsium. Secara khusus, tujuan 
Kementrian Kesehatan adalah meningkatkan asupan nutrisi bagi baik ibu untuk kepentingan 
perkembangan anak dan kelangsungan hidup ibunya. Program Kesejahteraan  semacam itu 
membutuhkan partisipasi masyarakat. Pada masa itu, program terbaik untuk meningkatkan 
status kesehatan ibu dan anak adalah ‗dari rakyat untuk rakyat‘. Slogan  tersebut,  menjadi 
kebijakan formal untuk hampir semua program pembangunan masa Soekarno.
Semenjak era Soeharto, yang di mulai tahun 1965, paradigma pendekatan kesehatan 
berubah. Kebijakan kesehatan terdahulu  di anggap  kurang memadai untuk menciptakan 
kesinambungan tingkat kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, Program 
Keluarga Berencana (KB) dikembangkan untuk mengurangi jumlah  anak dengan 
menggunakan ‗norma keluarga kecil‘ agar dapat mengembangkan kehidupan yang lebih baik  
norma NKKBS/Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera menjadi slogan baru. Program KB 
yang di tolak oleh pemerintahan orde lama dan hanya diaplikasikan oleh Lembaga Sosial 
Masyarakat (LSM) yaitu Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sebuah 
asosiasi KB di Indonesia. Namun demikian, pada tahun 1965, Program Keluarga Berencana 
menjadi bagian integral  dalam pembangunan nasional di Indonesia. Pada tahun 1971,
Repelita I/Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama tujuan program  KB adalah untuk 
meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan bagi ibu dan anak serta nasional. Semua 
aktivitas dan program kesehatan secara utuh diintegrasikan dalam pusat-pusat kesehatan yaitu 
Puskesmas. Puskesmas adalah fasiltas kesehatan di daerah, bertempat di setiap kecamatan. 
Walaupun, tidak semua populasi di pedesaan menggunakan fasilitas tersebut. Jarak geografis, 
sosial dan kultural antara Puskesmas dan komunitas lokal adalah bagian dari permasalahan 
tersebut. Jalan keluar dari situasi tersebut, pada Repelita III (1979-1984), pemerintah 
memperkenalkan ide untuk menstimulasi partisipasi masyarakat dalam implementasi aktivitas 
yang berkaitan dengan pencegahan dan pemasyarakatan kesehatan dengan strategi Perawatan 
Kesehatan Primer (Primary Health Care). Strategi tersebut memperkenalkan konsep ‗pekerja 
kesehatan sukarela‘ atau kader kesehatan, sebagai kunci untuk meningkatkan kesehatan 
masyarakat. Pertimbangan yang digunakan dalam memperkenalkan konsep tersebut, adalah 
karena sukarelawan (kader) kesehatan di pilih dari dalam komunitas, dapat memahami 
kondisi kesehatan komunitasnya sendiri. Kader kesehatan, harus menjadi mediator antara 
Puskesmas dan masyarakat, agar dapat meyakinkan anggota masyarakat yang belum dapat 
menerima penggunaan fasilitas kesehatan, dan mau menerima program  dalam 
mensosialisasikan dan mempromosikan kesehatan yang lebih baik. Program-program promosi 
berdasarkan partisipasi masyarakat berlanjut menjadi kebijakan utama dari Repelita IV 
(1984–1989). Pengembangan seksi kesehatan dalam organisasi Lembaga Ketahanan 
Masyarakat Desa/LKMD) dengan sub-seksi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK),
dimana kader kesehatan wajib memasyarakatkan program-program sosial yang dikembangkan 
oleh Departemen Kesehatan kepada masyarakat. Kerangka konseptualnya, secara khusus,282
menekankan pada pos integrasi kesehatan (Pos Pelayanan Terpadu/Posyandu) dimana 
aktivitas utamanya adalah: dilaksanakan oleh komunitas dan di dukung oleh paramedis. 
khususnya untuk melayani ibu dan anak. Perawatan kesehatan bagi ibu dan anak (KIA),
disusun terpisah dan diperkenalkan kepada komunitas secara bersama sebagai satu paket 
terintegrasi.
Pada tahun 1989, kebijakan untuk menempatkan bidan di desa, atau Program Bidan Desa, 
dikembangkan.  Bidan-bidan tersebut akan menjadi ujung tombak untuk menangani 
permasalahan dalam perawatan kehamilan, melahirkan, dan pasca-melahirkan. Direncanakan 
selama lima tahun, Departemen Kesehatan menempatkan 18.900 bidan di pedesaan di seluruh 
Indonesia. Tahun 1995/1996, 5.285 bidan sudah ditempatkan di Jawa Barat, berarti 90% dari 
desa yang ada sudah memiliki  bidan. Data dari Kantor Wilayah Kesehatan Jawa Barat 
menunjukkan bahwa, pada tahun 2000, 5.513 bidan sudah ditempatkan di seluruh Jawa Barat 
(Profil Kesehatan Kanwil Jawa Barat, 2000). Penempatan bidan di pedesaan diperkuat oleh 
Peraturan Pemerintah No. 23, 1994; ketika di tunjuk bidan-bidan tersebut di angkat sebagai 
pegawai pemerintah tidak tetap (Agenda Bidan Desa, 1997). Penyebab utama kematian ibu di 
Indonesia adalah: pendarahan setelah melahirkan karena ari-ari/plasenta yang tidak keluar, 
infeksi, pendarahan, lamanya persalinan, dan komplikasi pada aborsi. Kematian ibu, yang 
biasanya terjadi pada saat melahirkan seharusnya dapat dihindarkan melalui pemeriksaan dan 
kecukupan gizi pada saat kehamilan. Kehamilan yang berresiko tinggi dapat di deteksi ketika 
melakukan pemeriksaan pada tahapan kehamilan ketiga. Seorang perempuan hamil yang 
memeriksakan kehamilannya pada fasilitas perawatan pra-melahirkan akan di periksa oleh 
bidan: berat tubuhnya, pemeriksaan, mendapat distribusi tablet besi, imunisasi TT dan 
konsultasi. 
Hanya beberapa fasilitas kesehatan di pedesaan dapat beroperasi dengan baik untuk 
perawatan kebidanan dan bayi baru lahir. Upaya untuk mengembangkan Pondok Bersalin 
Desa atau Polindes, sebagai program berdasarkan komunitas bagi perawatan kebidanan dan 
bayi baru lahir oleh  bidan desa. Polindes, ditempatkan di rumah-rumah terdekat yang 
memiliki sedikit kelebihan ruang untuk pelayanan kehamilan dan bayi baru lahir di tingkat
desa, terutama daerah terpencil. Namun demikian, hanya 50% dari pedesaan di Indonesia 
yang tersedia pelayanan semacam itu, dan tidak semua fasilitas berfungsi dengan baik. 
Metoda top-down selama intervensi, yang diterapkan oleh pemerintah dapat mempengaruhi 
dan memisahkan perilaku masyarakat dalam tahapan pra-melahirkan, melahirkan dan pascamelahirkan dalam tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok yang hanya menggunakan sistem medis 
tradisional bagi setiap tahapan kehamilan sampai melahirkan;  (2) kelompok yang 
menggunakan sistem medis majemuk; seperti fasilitas medis modern untuk perawatan prenatal, dan memilih sistem medis tradisional ketika kehamilan dinyatakan aman; (3) kelompok 
yang menggunakan sistem medis modern untuk setiap tahapan kehamilan.
Saat ini, Indonesia menerapkan desentralisasi agar supaya setiap propinsi dapat lebih 
mandiri. Kemandirian propinsi Jawa barat, dapat memberikan peluang dan kesempatan untuk 
menentukan kebijakan KIA secara mendiri. Namun demikian, desentralisasi belum 
sepenuhnya diterapkan dengan pemahaman penuh tentang arti kemandirian, karena lebih dari 
30 tahun (masa orde baru) berbagai organisasi dikembangkan dalam sistem yang dikendalikan 
oleh pusat secara seragam. Semua peraturan harus datang dari pemerintah pusat di Jakarta. 
Kini, setelah diimplementasikannya desentralisasi bagi setiap propinsi, mentalitas 
keseragaman dan sistem terpusatkan masih tetap digunakan oleh kantor-kantor pemerintahan 
propinsi. Alasan tersebut menjawab mengapa desentralisasi saat ini  belum secara mandiri 
diterapkan, begitu juga dengan kesehatan dengan spesifikasi sistem medis majemuk, apalagi 
Indonesia memiliki etnis yang majemuk pula.283
Paraji, adalah istilah Sunda untuk penolong persalinan lokal yang umumnya seorang 
perempuan yang berusia lanjut, menggunakan bahasa yang sama dengan komunitasnya, 
kebanyakan buta huruf (Latin, tapi mungkin dapat membaca huruf Arab), kurang dapat 
berbahasa Indonesia, dan melakukan perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan bukan 
sebagai pekerjaan utama. Status sosio-ekonomi  paraji biasanya termasuk miskin, karena 
pekerjaan utamanya adalah buruh tani yang mendapat upah kecil dari pemilik tanah 
garapannya. Sebagai  paraji, ia tidak pernah melalui pelatihan formal; ia belajar melalui 
pengalaman dan melalui observasi dari paraji yang lebih senior, mungkin ibunya, neneknya, 
saudaranya, atau tetangga yang biasa membantu perempuan dalam kehamilannya, melahirkan 
dan pasca melahirkan. Paraji umumnya memiliki kemampuan sebagai perantara yang baik. 
Lebih jauh lagi, paraji itu sendiri biasanya mempunyai orang-orang yang akan melanjutkan 
profesinya. Ia adalah anggota komunitas yang dilayaninya. Walaupun banyak  paraji yang 
buta huruf, ia berbicara dan memahami bahasa yang sama dengan komunitasnya dan menjadi 
bagian dari sistem kepercayaan dan kebudayaan. Umumnya, seorang  paraji adalah 
perempuan yang bijak dan pandai, yang dipilih oleh perempuan-perempuan dalam 
keluarganya atau desanya karena pendekatan praktisnya dan pengalamannya. Banyak  paraji
memiliki kepribadian yang dinamis dan figur pemimpin yang dapat diterima oleh 
komunitasnya.  Paraji adalah praktisi mandiri yang melakukan negosiasi pembayarannya
bersama kliennya. Kadang-kadang mereka menerima upahnya dalam bentuk tunai atau 
hadiah; biasanya kompensasi yang diberikan termasuk status yang dihormati oleh komunitas. 
Untuk mengurangi AKI dan AKB, Departemen Kesehatan Nasional melalui Dinas Kesehatan 
Propinsi, untuk setiap kabupaten melakukan sejumlah pelatihan untuk dukun bayi untuk 
meningkatkan pengetahuannya mengenai kehamilan dan melahirkan, khususnya, bagaimana 
mengenali kehamilan dengan resiko tinggi, bagaimana merujuk bila situasi semacam itu 
terjadi, dan mengajarkan pentingnya tindakan yang higienis terhadap tali pusat. Setelah 
mengikuti pelatihan, dukun bayi terlatih di beri ‗Dukun Kit‟. Paraji dianggap sebagai bagian 
dari Keluarga luas dalam komunitas karena perannya dalam kesehatan keluarga. Ketika paraji
berhasil membantu seorang perempuan (cocok) melalui melahirkan, kemudian anak 
perempuan klien dan cucu perempuannya akan tetap memakai layanannya ketika mereka 
hamil. Ada kepercayaan, dalam memelihara hubungan yang baik antara klien dan paraji.
Paraji tidak hanya memberikan pelayanan pada saat melahirkan tetapi juga pada masa 
kehamilan dan pasca-melahirkan terutama melalui upacara-upacara kehamilan dan pasca 
persalinan. Pertama, adalah pada perempuan yang mencari bantuan selama kehamilan pada 
tingkat individu; pada saat itu penekanan adalah pada pengelolaan kehamilan pada setiap trisemester, yang paralel dengan perkembangan janin dan langkah-langkah (aksi eksternal) yang 
dilakukan oleh perempuan hamil dan melahirkan untuk menghubungi sistem KIA tradisional 
atau modern yang tersedia di daerah penelitian. Sangat menarik, bahwa kedua sistem KIA 
menggunakan perhitungan yang sama dalam melakukan identifikasi perkembangan janin 
selama dalam kandungan. Kehamilan terbagi dalam tiga trimester menurut ilmu bio-medis; 
kehamilan 8-12 minggu. janin akan mulai bergerak yang dirasakan oleh ibunya seperti 
getaran yang halus. Pengetahuan lokal di masyarakat Rancaekek dan juga paraji berdasarkan
kepercayaan Islam; sensasi getaran pada 4 bulan  kehamilan berarti Allāh meniupkan ruh 
masuk ke dalam janin sebagai tanda mulai ada kehidupan (cf. Bab VI). Untuk menghormati 
fenomena tersebut, tradisi yang dilakukan oleh keluarga perempuan yang sedang hamil 
melakukan ritual atau pengajian dengan mengundang tokoh agama untuk memimpin upacara 
tersebut. Ketika  kehamilan mencapai usia 7 bulan, ilmu biomedis memperlihatkan bahwa 
menggunakan pelayanan medis intensif, beberapa bayi dilahirkan dalam minggu ke 28 akan 
bertahan hidup. Sementara pengetahuan tradisional menjelaskan bahwa pada bulan ke tujuh 284
dari suatu kehamilan sudah dianggap ‗cukup usia‘; bila bayi terlahir pada saat itu, ia akan 
dapat bertahan hidup. Perhitungan tradisional menyatakan bahwa pada usia 7 bulan, bayi 
sudah cukup kuat untuk dilahirkan walaupun perkembangannya belum lengkap. Karena 
kemungkinan dapat lahir pada usia 7 bulan, maka sebuah ritual yang disebut nujuh bulan 
harus dilakukan agar proses melahirkn itu selamat baik bagi ibunya maupun bayinya (cf. Bab 
VI). Kedua, pola penggunaan sistem KIA di rancaekek terutama menunjukkan penggunaan 
pelayanan dan faktor-faktor yang menentukan proses selama periode kehamilan dan rumah 
tangga yang memiliki kondisi sosio-ekonomi yang berbeda. Penilaian kualitas dan jarak 
pelayanan kesehatan tidak disertakan dalam analisis. Walaupun perawatan yang dilakukan 
sendiri (aksi internal) selama kehamilan juga termasuk dalam analisis, fokus lebih ditekankan 
pada aksi eksternal yang akan mengarahkan pada penggunaan perawatan KIA majemuk di 
daerah penelitian. Sehingga, konsentrasi penelitian  dalam  penggunaan sistem KIA adalah 
pada jumlah kontak (cf. Bab VII) yang dilakukan oleh perempuan hamil dan melahirkan 
setelah ditetapkan bahwa dirinya hamil oleh komponen sistem KIA majemuk dalam periode 
12 bulan, yang dinyatakan dalam angka berapa kali kontak dilakukan oleh satu atau beberapa 
sistem.
Walaupun studi di Rancaekek ini melakukan pengumpulan data dari 150 perempuan (cf. 
Bab III), yang hamil dan melahirkan dalam jangka waktu retrospektif 1 tahun, 127 perempuan 
lengkap menjalani proses aksi eksternal sampai melahirkan. Konsekuensinya, 127 perempuan 
yang lengkap memenuhi langkah-langkahnya dan melakukan kontak dengan sistem KIA 
tradisional dan/atau modern selama kehamilan dan melahirkan secara individual diikuti
kontaknya dengan layanan KIA, khususnya berdasarkan aksi eksternalnya setelah 
kehamilannya ditetapkan; 23 perempuan yang pada saat penelitian masih hamil kemudian 
dikeluarkan dari sampel survai. Berdasarkan pada penggunaan pelayanan KIA, proses yang 
lengkap di pilih sehubungan dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam kontak dengan 
pelayanan KIA yang dibutuhkan oleh perempuan tersebut ketika hamil dan melahirkan.
Kesehatan ibu dan perilaku mencari bantuan oleh seorang perempuan ketika hamil. 
Melahirkan, dan pasca-melahirkan memiliki pengaruh yang kuat tidak hanya pada 
kehidupannya dan anak-anaknya. Berkaitan dengan itu, jelas dibutuhkan pada saat seorang 
perempuan hamil. Melahirkan, dan pasca-melahirkan membutuhkan bantuan baik untuk 
dirinya maupun bantuan pada sejumlah pekerjaan yang secara khusus dilakukan perempuan 
dalam rumah tangganya. Satu kesulitan dirasakan perempuan di Rancaekek, yang 
menyandarkan diri pada laki-laki kepala rumah tangga dalam finansial sekaligus juga 
keputusan dalam mencari bantuan. Perempuan hamil dan melahirkan dalam statusnya sebagai 
istri dan ibu juga membutuhkan dukungan dari anggota keluarga yang lain untuk melakukan 
pekerjaannya di rumah dan mengasuh anak-anaknya. Walaupun kehamilan bersifat individual,
dalam proses mencari bantuan untuk perempuan yang sedang hamil dan melahirkan, anggota 
keluarga lain juga menjadi terlibat dan menunjukkan simpatinya kepada perempuan tersebut,
sehingga banyak yang menunjukkan perhatiannya ketika mengetahui kondisi kehamilannya. 
Hal ini, kemudian akan diikuti dengan berbagi perhatian pada keadaan fisik dan emosi 
perempuan hamil juga sekaligus mempersiapkan untuk: melahirkan, upacara yang  harus 
dilakukan selama  kehamilan dan setelah melahirkan, serta dana yang dibutuhkan. Banyak 
anggota keluarga, tetangga, dan kerabat lain akan memberikan saran-saran selama kehamilan 
dan melahirkan. Mereka juga mau terlibat dalam pemilihan pelayanan KIA yang dipilih oleh 
perempuan secara individual, atau setelah keputusan di ambil oleh suami dan anggota 
keluarga lainnya. Pengalaman mengalami kehamilan, melahirkan dan pasca-melahirkan di 
bangun secara sosial. Keinginan keluarga dan juga tetangga dekat akan memberikan pengaruh 
pada perempuan hamil dalam proses melahirkannya. Ketika seorang perempuan menjadi 285
tergantung pada saat proses akan dan melahirkan berlangsung, orang-orang disekitarnya akan 
mencoba menginterpretasikan gejala-gejala sebagai upaya mencari jalan keluar bagi 
perempuan tersebut selama proses melahirkan.
Proses perilaku mencari bantuan  layanan  termasuk semua aksi yang di ambil semenjak 
gejala pertama dirasakan, diagnosa atau konfirmasi mengenai kehamilan dan melahirkan. 
Proses mencari bantuan digambarkan sebagai berbagai upaya yang di ambil oleh perempuan 
hamil yang di dukung oleh semua anggota keluarga, termasuk: tidak melakukan apapun,
melakukan aksi internal, dan aksi eksternal yang berarti mengunjungi sistem KIA, dari 
tradisional ke modern dan sebaliknya, tergantung pada periode khusus dari kehamilannya,
juga pada latar belakang kepercayaan dan status keuangan rumah tangga yang berkaitan 
dengan beberapa faktor sosio-kultural. Berkaitan dengan model analitik yang disajikan dalam 
Bab III, didiskusikan penggunaan aspek yang berbeda dari sistem KIA majemuk di 
Rancaekek. 
Senioritas memberikan keuntungan sosial sebagai pengambil keputusan, dalam kasus ini 
perempuan yang dituakan dan dianggap telah berpengalaman dalam penggunaan dan 
pemilihan layanan KIA yang tersedia di area penelitian. Peran gender, antara suami dan istri 
juga mempengaruhi proses pengambilan keputusan ketika mencari bantuan yang harus 
diputuskan oleh kepala keluarga yang dalam budaya Sunda adalah suami. Konsekuensinya,
seorang suami secara ideal haruslah lebih tua dalam usia daripada istrinya karena suami harus 
diperlakukan sebagai ‗kakak laki-laki‘. Oleh sebab itu, kedudukan suami dan istri dalam 
keluarga adalah terstruktur oleh nilai-nilai sosio-kultural keluarga. Pengambilan keputusan 
dalam berbagai hal, walaupun melalui diskusi antara suami dan istri, kata keputusan terakhir 
adalah suami sebagai kepala rumah tangga. 
Bab VII, menyajikan ‗pohon keputusan‘ yang menggambarkan alur perempuan hamil dan 
melahirkan dalam sistem KIA majemuk di Rancaekek dalam langkah-langkah berurutan 
sepanjang penggunaan pelayanan kehamilan dalam periode 12 bulan yang lalu. Langkahlangkah yang di lakukan oleh perempuan digambarkan sejak ia merasakan gejala kehamilan,
sampai mengambil keputusan untuk memastikan kehamilannya. Penggunaan perawatan KIA 
baik traditional maupun modern sangat tergantung pada pandangan, kemampuan dan faktorfaktor kelembagaan. Langkah terakhir dari setiap kategori, yang paralel dengan proses 
melahirkan, dalam proses yang rumit menggambarkan perempuan yang melahirkan dengan 
menggunakan sistem KIA traditional atau modern yang terdapat di komunitas Rancaekek. 
Tambahan lagi (cf. Figur 7.1. pohon keputusan), aliran  mencari layanan  perempuan hamil 
dalam sampel penelitian melalui sistem pelayanan KIA majemuk di Rancaekek 
menggambarkan keputusan yang di ambil oleh perempuan hamil dalam mencari perawatan 
KIA, berkaitan dengan variable-variabel bebas dalam kerangka konseptual. Variabel-variabel 
bebas dalam studi ini adalah: (1) variabel-variabel yang mempengaruhi (predisposing) di 
tingkat individual, seperti: pengetahuan, pandangan, pengambilan keputusan dan 
kepercayaan; (2)  variabel-variabel  yang dirasakan (perceived), seperti: persepsi mengenai 
pengalaman selama kehamilan; (3) variabel-variabel yang memungkinkan (enabling), seperti: 
karakteristik sosio-ekonomi di tingkat individual; (4) variabel institusi seperti:akses geografi,
seperti jarak ke pelayanan kesehatan; (5) variabel pengaruh, seperti: karakter pengaruh pada 
tingkat individu melalui pengaruh sistem perawatan KIA yang diperkenalkan dalam 
komunitasnya. Faktor-faktor bebas mempengaruhi penggunan pelayanan KIA selama 
kehamilan.
Pohon keputusan menggambarkan cara perempuan hamil dan melahirkan mencari bantuan 
dalam berbagai strategi penggunaan pelayanan KIA. Pilihan mereka menunjukkan 
kepercayaan dan pilihan tidak hanya dari perempuan hamil tersebut dan juga keluarganya,286
teman dan tetangganya. Kaitan antara pengetahuan mengenai kondisi kehamilan dan 
persalinan dan konteks sosial yang pada dasarnya rumit, semakin suatu masyarakat menjadi 
lebih majemuk dalam pengobatan. Suatu komunitas yang menyediakan sistem pengobatan 
majemuk membuat anggota masyarakatnya dapat memilih perawatan kesehatannya masingmasing. Kesempatan untuk dapat memilih antara sistem medis yang tersedia di wilayahnya 
yang mengarahkan pada proses integrasi dalam penggunaan sistem-sistem tersebut.
Model multivariate, dalam studi ini berdasarkan konsep ‗etnosistem‘, yang tidak hanya 
memperluas perspektif mengenai kebudayaan akan tetapi juga memungkinkan penilaian 
komponen kognitif dan dan perilaku dari suatu kelompok tertentu sebagai sistem dalam mode 
yang lebih  holistic. Lebih penting lagi, definisi etnosistem, lebih jauh memberikan 
kemungkinan memperluas konsep kebudayaan sebagai hasil proses historis dari akulturasi 
secara lebih dinamis. Hal ini mengakomodasikan analisis yang telah dinyatakan terdahulu 
mengenai penggunaan pelayanan KIA tradisional dan modern.
1. Pandangan Partisipan (Participants‟ View) 
Pertimbangan untuk menyertakan pandangan partisipan, atau populasi sasaran, ketika 
merencanakan dan menerapkan suatu proses inovasi dan pembangunan yang memberikan 
mendorong pandangan relativisme baru terhadap budaya dan masyarakat lain.
2. Bidang Studi Etnosistem (Field of Ethnosistems Study/FES)
Bidang studi etnosistem merujuk pada konsep ‗kultur area‘, dalam kasus Indonesia, 
budaya tertentu dapat menggambarkan juga mengenai: klasifikasi kekerabatan, pola-pola 
organisasi social, ornamen pada gendang kuningan, pola-pola pakaian tenun dan persepsi 
serta pelaksanaan pengobatan yang tersebar di wilayah tertentu yang biasa di sebut 
sebagai ‗Bidang Studi Antropologi‘ (Field of Anthropological Study).
3. Dimensi Historis (Historical Dimension)
Ketika mempelajari dan melakukan analisis suatu konfigurasi yang kompleks, misalnya 
medis, kepercayaan atau pertanian, pendekatan yang berorientasikan pada masa kini 
sering gagal menunjukkan pentingnya proses dinamis dari asal mulanya sampai ke 
perkembangannya, yang menyebabkan kompleksitas masa kini. Kesimpulannya, aspekaspek studi dan analisis dari kebudayaan lain membantu mendefinisikan pendekatan baru 
dalam etnosistem dalam arti yang lebih luas dan memberikan stimulasi pada penilaian 
ulang pada masa kini dalam ‗pembangunan dimensi kultural‘ (cultural dimension of 
development) dalam upaya kerjasama internasional.
Dalam kasus  paraji dan  bidan di Indonesia, integrasi medis untuk kemitraan lebih lanjut 
antara dukun bayi dan  bidan desa di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat. Populasi penelitian 
adalah perempuan yang mengalami kehamilan atau melahirkan dalam jangka waktu periode 
12 bulan. Semua perempuan dalam kategori tersebut menjadi populasi studi, semua kelompok 
dengan latar belakang khusus tersebut ter-representasi dalam sampel penelitian – seperti suku 
bangsa, pendidikan, pekerjaan, kepercayaan, status sosio-ekonomi, dan sebagainya  –
keputusan untuk memilih desa-desa sampel berdasarkan kategorisasi pemerintahan lokal.
Upaya untuk menggambarkan dan menjelaskan model penggunaan sistem KIA di 
Rancaekek dapat memperlihatkan hubungan dan perubahan perilaku antara paraji dan bidan,
membedakan berbagai sifat dari pelaku sosial dan sistem sosial yang tergabung dalam caracara tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula.  Model  multivariate mencoba 
menggambarkan dan menjelaskan bagaimana seseorang atau perubahan sistem sosial 287
sepanjang waktu. Dalam kasus penggunaan pelayanan KIA, pertanyaan tentang bagaimana 
perubahan dalam kekuatan yang memaksa suatu negara melalui intervensi sistem KIA 
modern ke dalam perawatan KIA lokal yang tumbuh secara alamiah di Rancaekek 
mempengaruhi diterimanya dan penolakan dalam komunitas. 
Dalam Bab VIII, analisis  bivariate membantu  memastikan hubungan antar variabelvariabel yang mempengaruhi penggunaan sistem KIA tradisional dan modern. Dalam tabulasi 
silang, variabel bebas dan variabel pengganggu (intervening) terdistribusi dalam dua variable 
bergantung untuk sistem penggunaan KIA tradisional dan modern. Variabel bergantung 
(dependent) menunjukkan secara tepat  angka-angka untuk pelayanan KIA, seperti yang 
dilaporkan oleh responden dalam periode 12 bulan sebelum survai dilakukan di area 
penelitian. Fakta yang dijelaskan dalam analisis bivariate menunjukkan asosiasi yang kuat 
antara berbagai variable yang mempengaruhi faktor-faktor sosio-demografis: semakin maju 
suatu desa semakin minim peran yang dimainkan oleh paraji; latar belakang pendidikan dan 
pekerjaan perempuan dan suaminya mempengaruhi penggunaan pelayanan KIA tradisional 
atau modern. Asosiasi antara variable dalam faktor-faktor yang mempengaruhi psiko-sosial 
menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai proses kehamilan, kehamilan beresiko tinggi dan 
keguguran menunjukkan korelasi yang kuat dengan penggunaan perawatan KIA tradisional; 
dan pendapat tentang paraji dan bidan dengan kepercayaan mengenai tabu selama kehamilan,
melahirkan dan pasca melahirkan juga menunjukkan korelasi kuat dengan penggunaan kedua 
sistem KIA. Status sosio-ekonomi dan akses geografis menunjukkan korelasi yang kuat 
dengan penggunaan sistem KIA tradisional dan modern di Rancaekek.
Akibatnya, langkah kedua dari analisis merefleksikan pengaruh secara menyeluruh dari 
seluruh faktor-faktor bebas dan pengganggu dalam hubungannya dengan dan antara satu 
sama lain. Analisis multivariate yang disebut OVERALS tidak hanya dapat 
mengidentifikasikan determinan untuk penggunaan perawatan KIA saja, tetapi juga 
memungkinkan  untuk mengukur pengaruh relatif dari berbagai variable dalam pola-pola 
menyeluruh dari perilaku mencari bantuan selama kehamilan dan melahirkan. Langkah 
terakhir dari implementasi menggunakan analisis regresi menunjukkan hubungan-hubungan 
lebih jauh antara kelompok variable, menandakan dan diwakili sebagai ‗blocks‘ dalam model,
dengan menuunjuk pada hubungan perhitungan koefisien regresi. Analisis secara esensial 
memiliki peran dalam memberikan penjelasan mengenai pengetahuan dan membantu 
memahami prediksi nilai-nilai terhadap interaksi menyeluruh antara variabel-variabel dalam 
perilaku KIA di Rancaekek. Bab tersebut menyimpulkan dengan sebuah interpretasi dan 
diskusi dari keluaran dari analisis dalam hubungannya dengan struktur dari model 
penggunaan medis.
Paraji dengan pengetahuannya mengenai pengobatan herbal di pedesaan Indonesia 
memainkan peran khusus secara sosio-kultural, tidak hanya untuk perempuan hamil dan 
melahirkan tetapi juga menjadi konsultan kesehatan keluarga. Kehilangan seorang  paraji
berarti kehilangan perawatan  tardisional mengenai  KIA, kehamilan, melahirkan dan 
pengobatan herbal yang akan hilang bersama dirinya. Penganjur pengetahuan terintegrasi 
sebagai kunci pembangunan dalam mengantisipasi peningkatan kemitraan antara paraji dan 
bidan di Rancaekek begitu juga dalam setiap komunitas di Indonesia. Mempertahankan
pengetahuan tradisional harus di dukung oleh kebijakan politis dari pemerintah dan dalam 
semua tingkatan dari lembaga-lembaga terkait di negara seperti Indonesia.
Walaupun laporan  WHO pada tahun 2008, menekankan pergeseran perhatiannya dari 
kesehatan ibu dan anak kepada  kesehatan  komunitas secara menyeluruh, dengan 
memperhatikan pengembangan sumber daya manusia  pada  generasi yang akan datang 
membutuhkan perhatian lebih lanjut pada kebijakan kesehatan. Sumberdaya untuk melakukan 288
integrasi dalam sistem KIA sangat penting bila kondisi kesehatan dalam suatu negara harus 
ditingkatkan. Dalam perawatan KIA  tradisional,  paraji masih memiliki peranan yang kuat, 
dan dalam pelayanan KIA modern, bidan ahli dan terdidik yang secara formal ditugaskan oleh 
Kementerian Kesehatan menyediakan perawatan kesehatan untuk ibu dan anak dalam 
komunitas. Paraji yang sudah terlatih memiliki peran strategis dalam menstimulasi partisipasi 
masyarakat dalam program-program Safe Motherhood. Pelatihan dukun bayi, yang sudah di 
mulai sejak tahun 1980-an, sebagai strategi dan cara untuk menurunkan morbiditas dan 
kematian ibu telah berhasil secara global. Dewasa ini, pelatihan dukun bayi sangat terbatas, 
yang menunjukkan situasi yang potensial dengan resiko bagi masyarakat di daerah terpencil 
yang jarang dijangkau oleh pelaksana kesehatan. Paraji memiliki peran yang sangat penting 
sebagai perantara antara masyarakat dan sistem kesehatan formal, membantu 
mengintegrasikan mereka dalam sistem KIA mejemuk melalui kreasi kemitraan yang akan 
menurunkan kematian ibu dan bayi. Daripada menunjuk  paraji sebagai penyebab tingginya 
kematian ibu dan bayi, akan jauh lebih baik meningkatkan perannya dengan menyediakan 
pendidikan dan melestarikan kemitraan lebih lanjut antara sistem KIA di Indonesia. Lebih 
lanjut, rumah tangga dan komunitas harus mendapatkan pendidikan untuk memahami dan 
mampu secara mandiri mendukung program KIA yang diintroduksikan oleh lembagalembaga nasional dan internasional. 
Lebih penting lagi, untuk memperbaiki perawatan KIA dalam komunitas dengan 
spesifikasi perawatan dan pelayanan kesehatan reproduksi,  bidan sebagai tenaga kesehatan 
bagi ibu dan anak dan paraji yang ahli, perlu memberikan stimulasi dan menggerakkan semua 
komponen dalam komunitas untuk berpartisipasi, untuk mencapai kehamilan dan melahirkan 
yang aman. Pendidikan  kebidanan sebagai  bidan desa sebaiknya menyertakan  dalam 
kurikulumnya pengetahuan mengenai pembangunan masyarakat, hal itu amat berguna dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat. Rantai partisipasi menghubungkan komunitas secara 
keseluruhan dari tingkat yang paling bawah (‘akar rumput‘ =  bottom), di mulai di tingkat 
rumah tangga, meningkat ke lingkungan ketetanggaan,  paraji, kader kesehatan, pusat 
kesehatan masyarakat, pemerintahan lokal dan seluruh masyarakat, akan meningkatkan fungsi
pelayanan KIA di Indonesia untuk masa yang akan datang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar