Di sebagian daerah di Indonesia apalagi di desa-desa, melahirkan dirumah adalah sesuatu yang lazim. Biasanya seorang keluarga akan memanggil dukun beranak atau bidan desa untuk membantu proses persalinan. Namun jika kita mengamati di kota-kota besar, home birth/melahirkan di rumah itu adalah sesuatu yang langka.Beberapa waktu yang lalu saya sempat mendengar ada sebuah aturan dari dinas kesehatan bahwa ibu bersalin harus bersalin di RS/RSIA/RB/BPS (Bidan Praktek Swasta), dan saya gak habis pikir mengapa muncul aturan itu. Saat saya diskusi dengan seseorang, ternyata aturan itu dibuat untuk mengurangi kesakitan dan kematian pada ibu dan bayi baru lahir. Dengan alasan kalau di rumah tidak bisa terjamin kebersihan dan kesterilan alat, kalau dirumah bidan juga repot musti bawa-bawa alat. Dan kalau terjadi apa-apa bisa lamban penanganannya. Namun muncul satu pertanyaan lagi. Lha kalau si ibu resiko rendah dan ingin bersalin dirumah? Karena dia takut di rumah sakit. Seperti kita ketahui bagi sebagian orang rumah sakit adalah tempat yang menyeramkan. Dengan berbagai alat yang mengerikan, bau lantai yang khas, perawat dan bidan yang judes (tentu yang ini tidak semua RS begitu lho ya? Jangan tersinggung dulu), dan sangat asing bagi pasien. Dan padahal kita tahu ketika ibu bersalin merasakan kurang nyaman, stress yang ini bisa disebabkan dan dipicu dari lingkungan maka akan berpengaruh pada kemajuan proses persalinan itu sendiri. Ya…dilematik memang. Satu sisi aturan tidak memperbolehkan bersalin dirumah namun disisi lain di rumah sakit ibu bersalin diperlakukan seperti orang sakit namanya juga di rumah sakit (rumahnya orang sakit) padahal ibu bersalin itu sehat. Mustinya dirumah sehat ya? Nah saat ini juga berkembang isu bahwa sebagai pelayan kesehatan kita harus memberikan pelayanan yang mengacu pada kenyamanan dan kepuasan pelanggan. Lha kalau pasien kita yang meminta untuk bersalin dirumah? Bagaimana? Apakah tidak dilayani karena sudah ada aturan dari dinas? Atau bagaimana? Nah dalam artikel ini saya akan mengupas sedikit tentang sebuah pilihan yaitu Bersalin di Rumah atau di Rumah Sakit?
Hospital BirthDengan fasilitas yang (biasanya) lengkap dan moderen, rumah sakit menjadi pilihan utama sebagian besar calon ibu untuk melahirkan. Namun referensi yang Mrs Y. baca, tidak ada statistik yang menunjukkan bahwa melahirkan di rumah sakit lebih aman daripada melahirkan di rumah (karena perbandingan masing-masing yang sama-sama berkisar di 50%).Namun untuk kehamilan dan persalinan dengan risiko tinggi dan komplikasi berat, tentunya melahirkan di rumah sakit menjadi suatu keharusan. Karenanya sebagai contoh, menurut Robbie E. Davis-Floyd, Ph.D. dalam The Rituals of American Hospital Birth, di Belanda calon ibu dengan kehamilan berisiko tinggi harus melahirkan di rumah sakit dengan dokter kandungan, sedang mereka dengan kehamilan normal dan sehat disarankan untuk melahirkan di rumah dengan bidan.Untuk yang pro home birth, melahirkan di rumah sakit dianggap memiliki banyak kekurangan dan bahaya. Silakan baca referensi berikut: "Dangers of Hospital Birth: Why Birthing in a Hospital Causes More Problems Than it Solves for Normal Birth".Karena model seluruh rumah sakit, kelahiran didasarkan sebagai sebuah prosedur medis, staf rumah sakittampaknya melewatkan fakta bahwa mereka punya campur tangan dalam dalam kehidupan bayi baru.Psikolog Perinatal menggambarkan jam pertama setelah lahir sebagai "periode kritis", di mana bayi akan belajar cara belajar dan apakah dia aman atau tidak aman untuk bersantai dan belajar tentang kepercayaandunia luar. Hal ini memiliki implikasi yang luar biasa untuk kesehatan mental dan gangguan stres.{Ronnie Falcão, LM MS, "Dangers of Hospital Birth: Why Birthing in a Hospital Causes More Problems Than It Solves for Normal Birth"}
Lalu apa yang dipilih Mr dan Mrs Y?Mrs Y (sempat) memiliki keinginan untuk bisa melahirkan di rumah saja, kalau membayangkan segala kemungkinan keintiman yang bisa dialami. Tapi The Mr Y sendiri memiliki kekhawatiran terhadap persalinan di rumah bila membayangkan segala risiko yang mungkin terjadi pada Mrs Y nanti.Meski kehamilan Mrs Y. yang sekarang termasuk sehat dan normal (sejauh ini), bidan-bidan yang pernah Mrs Y. temui sewaktu kontrol ke Puskesmas sangat tidak menyarankan Mrs Y untuk melahirkan di rumah. Sama seperti alasan The Mr Y: berbagai risiko bisa saja terjadi, terlepas dari bagaimanapun kehandalan dan keterampilan si bidan. Tapi bidan yang paling awal Mrs Y. temuilah yang paling sewot dan malah jadi bawa-bawa tingkat pendidikan Mrs Y yang Menurutnya, 'tidak pantas' seorang lulusan S2 seperti Mrs Y. malah menginginkan untuk melahirkan di rumah (Bu Bidan, justru karena saya lulusan S2, saya bisa dapat kesempatan untuk dapat wawasan tentang pilihan-pilihan melahirkan. Tapi hanya karena saya seorang sarjana, bukan berarti saya akan mengalami 'penurunan derajat' dengan menginginkan melahirkan di rumah, kan?).Nah Akhirnya Mr Y. dan Mrs Y yang semula ingin sekali bersalin di rumah sendiri namun tidak ada yang mau membantu, maka dnegan terpaksa dia bersalin di Rumah Sakit yang kebetulan bagus dan terkenal di kotanya. Namun ternyata apa yang di bayangkan dengan apa yang terjadi 180 derajat berbeda. Semua harapan mereka tentang proses persalinan normal dan alami pupus sudah. Tanpa alas an yang jelas dengan berbagai dalih di dokter meminta Mrs Y untuk SC dengan alasan satu : Ibu kan punya riwayat Kuret! (sebuah alasan yang menurut Mrs Y sangat sangat tidak masuk akal) karena stress dan depresi serta semua bidan, perawat apalagi dokternya “mengintimidasi” untuk SC akhirnya Mrs Y mengalami pembukaan yang mereka nilai LAMBAN kata mereka : “wah ini sudah melewati garis waspada dari partograf bu, harus segera di keluarkan”. Saat itu Mrs Y meminta di lakukan CTG memang kontraksi menjadi kurang efektif saat itu namun DJJ dan Gerakan janin masih sangat normal. Saat itu juga bidan yang merawat Mrs Y memberikan infuse dengan alas an agar kontraksinya efektif (dan tanpa sepengetahuan mereka ternyata cairan infuse tersebut sudah di campur dengan Pitocin) tetes demi tetes berlangsung dan kontraksi semakin kuat dan terasa sakit. Metode relaksasi yang diterapkan Mrs Y menjadi kurang efektif saat itu. Mrs Y ingin beralih posisi dia ingin duduk dan berjongkok juga bergoyang sebentar namun prosedur RS tidak mengijinkan katanya bidan:”udah ibu tiduran aja, coba tidur miring kiri terus agar cepet” padahal saat itu yang dirasakan Mrs Y adalah dia mengalami sakit yang luar biasa di punggung dan pinggannya saat tubuhnya mmiring ke kiri. Di ruang bersalin itu silih berganti orang bersliweran entah bidan, perawat, mahasiswa kebidanan, coas, residen yang berulang kali tanpa basa-basi memegang perut Mrs Y, bahkan melakukan pemeriksaan dalam berulang dengan berbagai tangan (tangan di bidan, mahasiswa kebidanan, coas dan residen). Saat itu dalam hati Mrs Y ingin berontak ingin sekali dia lari dari RS tersebut namun dia tidak punya cukup daya dan tenaga, Mrs Y merasa benar-benar “terjebak”. Belum lagi suasana lingkungan di kamar bersalin sangat tidak nyaman baginya tempat tidaur yang super sempit, super keras, dengan bantal satu yang keras dan terasa panas, suhu ruangan yang dingin, sorot lampu ruangan yang sangat menyilaukan, kamar yang hanya bersekatkan gorden yang mana Mrs Y bisa mendengar dengan jelas semua jeritan, keluh kesah dan tangisan pasien lain entah yang mau melahirkan juga, yang sedang kuret bahkan saat itu Mrs Y mendengat dan melihat Keributan dan kepanikan bidan, dokter dan wadyabala nya ketikan ada seorang ibu yang mengalami perdarahan hebat setelah melahirkan.Yang dirasakan Mrs Y saat itu adalah Stres dan ternyata akibat dari stress tersebut bayinya mulai ikutan stress, mau tak mau Operasi adalah keharusan. Dan ketika operasi teryata Mr Y tidak diperkenankan masuk dengan alas an Mr Y bukan orang kesehatan dan dinilai tidak cukup kuat untuk mendampingi istrinya di ruang operasi. Kata bidan yang jaga saat itu: nanti bapak malah pingsan lihat darah? Kan kita yang repot pak?.
Mrs Y akhirnya masuk ke Ruang operasi yang sangat dingin mungkin 17ºC saat itu suhu ruangannya. Banyak alat dan ada lampu sorot yang besar diatas tubuhnya. Setelah dilakukan anesthesia lumbal Mrs Y akhirnya tidak merasakan apapun di pusar hingga kaki. Sebelum masuk ruang operasi sebenarnya Mrs Y masih ber pikiran positif: “wah ini kan RS bonafit pasti ruang operasinya nyaman, semoga nanti dokter yang mengoperasi saya lembut dan siap tau diiringi music relaksasi”Namun ternyata khayalan Mrs Y hanyalah Khayalan orang yang depresi. Diiringi music ska si dokter membelah perut Mrs Y . alasannya saat itu: “biar gak ngantuk bu, semalem ada operasi sampai pagi”. Dengan volume yang cukup besar akhirnya bayi berhasil dikeluarkan. Dan eit……..kok langsung dipotong tali pusatnya dan kok langsung dipisahkan dari ibu, tiba-tiba di dokter menyerahkan bayinya ke dokter anak dengan segala perlengkapannya Mrs Y mendengar bayinya menangis kesakitan saat dilakukan suction, sekilas Mrs Y melihat selang itu masuk dalam sekali sampai paru dan tenggorokan bayinya. Saat Mrs Y menanyakan kenapa tidak IMD jawabannya singkat: “bayinya di bersihkan bu agar lendirnya tidak masuk ke paru-paru, bayi juga masih berlumuran darah nanti bisa hipotermi, lagian repot kalau IMD.”
Y hanya bisa menangis dan menangis semua harapannya pupus semua usahanya sejak hamil mualai dari Yoga, Tai Chi, Relaksasi Hypnobirthing, membaca buku-buku tentang kehamilan, ikut milis ibu hamil, rajin membaca www.bidankita.comternyata semuanya sia-sia. Semua teori yang pernah dia baca tak ada satupun yang terbukti dan berlaku dalam persalinannya. Menangis hanya itu obatnya saat ini.
Setelah selesai penjahitan di ibu dibawa ke ruang RR (Recovey Room) untuk observasi dan pemulihan saat itu Mrs Y kembali lagi berfikir positif bahwa nanti kalau dia sampai di kamar nifas dia akan segera bertemu dengan bayinya. Namun lagi-lagi itu hanya harapan kosong. Sesampai di kamar nya tidak ada bayinya disitu. Kata bidannya: “bayi di letakkan di kamar bayi bu. Di incubator biar tidak hypothermia.”. lagi-lagi alas an hypothermia yang dipakai pihak rumah sakit, padahal setahu Mrs Y tubuhnya adalah incubator paling canggih bagi bayinya.
5 hari Mrs Y terpisah dari bayinya dengan berbagai alasan, mulai dari alas an hipotermia sampai alas an kuning bayinya. ASI yang berusaha diperahnya sangat sedikit, Mrs semakin stress harapannya memberikan ASI Eksklusif pada bayinya ternyata pupus sudah, karena tanpa diketahuinya ketika Mr Y membesuk bayinya, si bayi sedang dengan asyiknya minum susu formula dari botol dengan bidannya. Marah, Menyesal, Sebel, Benci semua jadi satu adonan yang ada di hati dan pikiran Mr dan Mrs Y.Ya…Ya…semua sudah terlanjur terjadi. Mrs Y hanya bisa berbisik kepada bayinya melalui celah-celah kaca inkubator Maafkan mama ya sayang, maafkan mama!
Ya Sudahlah! satu kalimat yang selalu dia amini adalah :Cinta bisa mengobati semua Traumadan saat ini Mrs Y dan Mr Y bertekat untuk melakukan positive parenting dan juga healing trauma tuk mengobati semuaa luka batinnya & luka batin anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar